K.H. Abdullah Gymnastiar
Tiada keberuntungan yang sangat besar dalam
hidup ini, kecuali orang yang tidak memiliki sandaran, selain bersandar kepada
Allah. Dengan meyakini bahwa memang Allah-lah yang menguasai segala-galanya; mutlak,
tidak ada satu celah pun yang luput dari kekuasaan Allah, tidak ada satu noktah
sekecil apapun yang luput dari genggaman Allah. Total, sempurna, segala-galanya
Allah yang membuat, Allah yang mengurus, Allah yang menguasai.
Adapun kita, manusia, diberi kebebasan
untuk memilih, "Faalhamaha fujuraha wataqwaaha", "Dan sudah
diilhamkan di hati manusia untuk memilih mana kebaikan dan mana
keburukan". Potensi baik dan potensi buruk telah diberikan, kita tinggal
memilih mana yang akan kita kembangkan dalam hidup ini. Oleh karena itu, jangan
salahkan siapapun andaikata kita termasuk berkelakuan buruk dan terpuruk,
kecuali dirinyalah yang memilih menjadi buruk, naudzubillah.
Sedangkan keberuntungan bagi orang-orang
yang bersandarnya kepada Allah mengakibatkan dunia ini, atau siapapun,
terlampau kecil untuk menjadi sandaran baginya. Sebab, seseorang yang bersandar
pada sebuah tiang akan sangat takut tiangnya diambil, karena dia akan
terguling, akan terjatuh. Bersandar kepada sebuah kursi, takut kursinya diambil.
Begitulah orang-orang yang panik dalam kehidupan ini karena dia bersandar
kepada kedudukannya, bersandar kepada hartanya, bersandar kepada
penghasilannya, bersandar kepada kekuatan fisiknya, bersandar kepada
depositonya, atau sandaran-sandaran yang lainnya.
Padahal, semua yang kita sandari sangat
mudah bagi Allah (mengatakan ‘sangat mudah’ juga ini terlalu kurang etis), atau
akan ‘sangat mudah sekali’ bagi Allah mengambil apa saja yang kita sandari.
Namun, andaikata kita hanya bersandar kepada Allah yang menguasai setiap
kejadian, "laa khaufun alaihim walahum yahjanun’, kita tidak pernah akan
panik, Insya Allah.
Jabatan diambil, tak masalah, karena
jaminan dari Allah tidak tergantung jabatan, kedudukan di kantor, di kampus,
tapi kedudukan itu malah memperbudak diri kita, bahkan tidak jarang
menjerumuskan dan menghinakan kita. kita lihat banyak orang terpuruk hina
karena jabatannya. Maka, kalau kita bergantung pada kedudukan atau jabatan,
kita akan takut kehilangannya. Akibatnya, kita akan berusaha mati-matian untuk
mengamankannya dan terkadang sikap kita jadi jauh dari kearifan.
Tapi bagi orang yang bersandar kepada Allah
dengan ikhlas, ‘ya silahkan ... Buat apa bagi saya jabatan, kalau jabatan itu
tidak mendekatkan kepada Allah, tidak membuat saya terhormat dalam pandangan
Allah?’ tidak apa-apa jabatan kita kecil dalam pandangan manusia, tapi besar
dalam pandangan Allah karena kita dapat mempertanggungjawabkannya. Tidak
apa-apa kita tidak mendapatkan pujian, penghormatan dari makhluk, tapi mendapat
penghormatan yang besar dari Allah SWT. Percayalah walaupun kita punya gaji 10
juta, tidak sulit bagi Allah sehingga kita punya kebutuhan 12 juta. Kita punya
gaji 15 juta, tapi oleh Allah diberi penyakit seharga 16 juta, sudah tekor itu.
Oleh karena itu, jangan bersandar kepada
gaji atau pula bersandar kepada tabungan. Punya tabungan uang, mudah bagi Allah
untuk mengambilnya. Cukup saja dibuat urusan sehingga kita harus mengganti dan
lebih besar dari tabungan kita. Demi Allah, tidak ada yang harus kita gantungi
selain hanya Allah saja. Punya bapak seorang pejabat, punya kekuasaan, mudah
bagi Allah untuk memberikan penyakit yang membuat bapak kita tidak bisa
melakukan apapun, sehingga jabatannya harus segera digantikan.
Punya suami gagah perkasa. Begitu kokohnya,
lalu kita merasa aman dengan bersandar kepadanya, apa sulitnya bagi Allah
membuat sang suami muntaber, akan sangat sulit berkelahi atau beladiri dalam
keadaan muntaber. Atau Allah mengirimkan nyamuk Aides Aigepty betina, lalu
menggigitnya sehingga terjangkit demam berdarah, maka lemahlah dirinya.
Jangankan untuk membela orang lain, membela dirinya sendiri juga sudah sulit,
walaupun ia seorang jago beladiri karate.
Semakin kita bergantung pada sesuatu,
semakin diperbudak. Oleh karena itu, para istri jangan terlalu bergantung pada
suami. Karena suami bukanlah pemberi rizki, suami hanya salah satu jalan rizki
dari Allah, suami setiap saat bisa tidak berdaya. Suami pergi ke kantor, maka
hendaknya istri menitipkannya kepada Allah.
"Wahai Allah, Engkaulah penguasa suami
saya. Titip matanya agar terkendali, titip hartanya andai ada jatah rizki yang
halal berkah bagi kami, tuntun supaya ia bisa ikhtiar di jalan-Mu, hingga
berjumpa dengan keadaan jatah rizkinya yang barokah, tapi kalau tidak ada jatah
rizkinya, tolong diadakan ya Allah, karena Engkaulah yang Maha Pembuka dan
Penutup rizki, jadikan pekerjaannya menjadi amal shaleh."
Insya Allah suami pergi bekerja di back up
oleh do’a sang istri, subhanallah. Sebuah keluarga yang sungguh-sungguh
menyandarkan dirinya hanya kepada Allah. "Wamayatawakkalalallah fahuwa hasbu",
(QS. At Thalaq [65] : 3). Yang hatinya bulat tanpa ada celah, tanpa ada retak,
tanpa ada lubang sedikit pun ; Bulat, total, penuh, hatinya hanya kepada Allah,
maka bakal dicukupi segala kebutuhannya. Allah Maha Pencemburu pada hambanya
yang bergantung kepada makhluk, apalagi bergantung pada benda-benda mati. Mana
mungkin? Sedangkan setiap makhluk ada dalam kekuasaan Allah. "Innallaaha
ala kulli sai in kadir".
Oleh karena itu, harus bagi kita untuk
terus menerus meminimalkan penggantungan. Karena makin banyak bergantung,
siap-siap saja makin banyak kecewa. Sebab yang kita gantungi, "Lahaula
wala quwata illa billaah" (tiada daya dan kekuatan yang dimilikinya
kecuali atas kehendak Allah). Maka, sudah seharusnya hanya kepada Allah sajalah
kita menggantungkan, kita menyandarkan segala sesuatu, dan sekali-kali tidak
kepada yang lain, Insya Allah.***
No comments:
Post a Comment