Sesungguhnya beruntung benar orang-orang yang selalu
berusaha mengamati kondisi qalbunya. Adakah ia sedang sehat, sakit, atau malah
sudah mati ? Mungkinkah seseorang hatinya mati ? Di antara ciri-ciri hati yang
mati adalah tidak lagi merasa sedih dan susah ketika tertinggal dalam melakukan
suatu amal kebaikan. Sebaliknya, tidak merasa duka dan menyesal ketika berbuat
suatu kemaksiatan dan kemungkaran.
Lain lagi kalau seseorang memiliki hati yang sehat. Imam
Syafi’i pernah menggambarkan hati yang bersih dengan perumpamaan gelas yang
bening yang berisi air bening. Andai masuk ke dalamnya sebutir debu saja,
niscaya akan tampak jelas kelihatan dari luar gelas. Mudah melihatnya, mudah
pula mengambilnya.
Semakin bersih dan jernih keadaan hati seseorang,
tergelincir melakukan maksiat sedikit saja akan mudah berguncang hatinya.
Serta-merta ia merasakan kekecewaan dan penyesalan, mengapa sampai lalai dari
berlindung kepada Allah ? Dan selanjutnya, akan mudah pula untuk segera
bertaubat dan berjanji lebih berhati-hati lagi agar maksiat serupa tidak
terulang kembali.
Tentu sangat berbeda dengan orang yang hatinya sakit. Ia tak
ubahnya dengan gelas yang kusam berisi air yang keruh. Jangankan masuk sebutir
debu ke dalamnya, meski paku payung, jarum, silet, atau patahan cutter
sekalipun tidak akan tampak terlihat.
Orang yang hatinya sangat kotor hampir dapat dipastikan
tidak akan peka terhadap aneka perilaku maksiat yang pasti membuahkan dosa. Bahkan
bila pun suatu ketika terjerumus ke dalam maksiat yang amat buruk dan durjana,
akan sangat mungkin ia tidak merasakannya sebagai perbuatan dosa, sehingga
tentu saja, tidak akan pernah membuahkan kekecewaan apalagi penyesalan. Itulah
bukti betapa ruginya orang yang memiliki hati yang sakit. Lebih-lebih lagi
orang yang hatinya mati. Na’udzubillah !
Allah mengingatkan kita dalam hal ini, melalui firman-Nya
yang artinya: “…. Allah hendak menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk
membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
dalam dada (isi hati).” (QS Ali Imran [3] : 154). Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa
yang merasa senang dengan amal kebaikannya dan merasa sedih, kecewa, serta
menyesal dengan perbuatan jeleknya, maka ia adalah seorang yang beriman.”
Artinya apa ? Artinya, riak-riak perubahan yang menimpa
qalbu itu, tidak bisa tidak, adalah gambaran yang nyata dari kokoh atau
rapuhnya iman seorang hamba Allah. Manakala seseorang merasakan betapa pekanya
ia dalam menyikapi suatu kejadian ataupun menata niat ketika timbul suatu
keinginan atau rencana-rencana, sehingga sekuat-kuatnya ingin menghindar dari
meniati keinginan dan rencana yang remeh dan berbau hawa nafsu, maka tidak
diragukan lagi, itulah isyarat dan bukti bahwa orang itu tengah memiliki iman
yang kokoh.
Sebaliknya, manakala kepekaannya mulai menipis, yang
berakibat perlahan tapi pasti mulai ‘menenggang rasa’ sikap, perbuatan, atau
perkataan yang sia-sia, maka berhati-hatilah. Boleh jadi ini merupakan isyarat
awal bahwa iman itu mulai terkikis pelan-pelan. Sebab, bila ia sudah gemar dan
bahkan menikmati segala yang berbau sia-sia, langkah selanjutnya hampir dapat
dipastikan akan ‘menenggang rasa’ pula aneka maksiat yang kecil dan remeh.
Terus berlanjut, hingga tak ada lagi getaran sesal di hati manakala mulai
tergelincir ke dalam kubangan maksiat yang lebih besar. Bila sudah demikian,
waspadalah, itu isyarat dan bukti yang amat jelas imannya sedang rapuh dan
centang perenang.
No comments:
Post a Comment